Salingkaba.com - Presiden Jokowi menggaungkan benci produk asing atau impor dan meminta masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri.
Ternyata, hal itu lantaran para pelaku UMKM di Indonesia ditikung produk impor dengan harga yang sangat rendah di e-commerce. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pun memberikan contoh kasus produk hijab sebagaimana dikutip dari kumparan.com.
Pada tahun 2018 ada industri hijab mempunyai kemampuan penjualan luar biasa. Namun setelah itu, informasinya tersadap artificial intelligence yang digunakan perusahaan digital asing.
“Kemudian disedot informasinya. Setelah itu dibuatlah industrinya di China, kemudian diimpor barangnya ke Indonesia, mereka membayar USD 44 ribu sebagai bea masuk, tetapi kemudian industri UMKM hijab itu hancur," jelas Lutfi.
Lalu, bagaimana datanya?
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima kumparan, Jumat (4/3), impor kerudung atau hijab nilainya cukup fantastis sejak 2018. Kerudung ini masuk kode HS dengan kelompok syal dan scarve bahan lainnya, selain bahan sutra, bulu binatang, artifisial, dan tidak dicetak dengan proses batik tradisional. Pada periode 2018-2020, total angka impor mencapai Rp 18,5 miliar.
Selama 2018, total impor kerudung mencapai USD 670.842 atau senilai Rp 9,38 miliar (kurs Rp 14.400). Pasar impor terbesar berasal dari China, yaitu senilai USD 311.281. Disusul India USD 24.353 dan Malaysia USD 7.775.
Saat Jokowi Benci Produk Asing, RI Masih Impor Hijab dari China Cs Rp 18,5 M
Meski demikian, angkanya memang mengalami perlambatan di tahun berikutnya. Pada 2019, impor kerudung mencapai USD 430.516. Impor ini berasal dari berbagai negara, mulai dari China, Singapura, Malaysia, AS, Turki, hingga Vietnam.
Namun tiga negara asal impor terbesar tetap dari China, India, dan Malaysia. Impor kerudung asal China selama 2019 mencapai USD 211.252, India USD 25.538, dan Malaysia USD 4.310.
Impor kerudung hingga syal selama 2020 sebesar USD 182.502, kembali melambat dari tahun sebelumnya. Impor kerudung tersebut dari China sebesar USD 97.341, India USD 9.533, dan Malaysia USD 4.310.
Sehingga total impor kelompok syal hingga kerudung dari berbagai negara sejak 2018 hingga 2020 mencapai USD 1,28 juta atau sekitar Rp 18,57 miliar.
Namun jika dibandingkan hanya di bulan Januari, impor kerudung hingga syal tersebut mengalami kenaikan sejak 2018.
Pada Januari 2018, total impor kerudung dan syal dari berbagai negara mencapai USD 32.833. Selanjutnya di Januari 2019 impornya naik menjadi USD 59.140.
Di Januari 2020 mencapai USD 70.194 dan kembali menurun di Januari 2021 menjadi USD 7.016. Sehingga total impor kerudung dan syal khusus di bulan Januari sejak 2018-2021 mencapai USD 169.453.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, produk hijab bikinan luar negeri di Indonesia dijual dengan harga sangat miring, yakni hanya Rp 1.900 per pcs. Praktik yang ia sebut predatory pricing inilah kemudian membuat UMKM mati.
"Inilah yang menyebabkan kebencian produk asing yang diutarakan Pak Presiden, karena kejadian dari perdagangan yang tidak adil, tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat. Itulah yang jadi dasar ucapan Pak Presiden, ini juga karena membunuh UMKM,” ujar Lutfi.
Beruntungnya di tengah banjirnya impor hijab ini, ada produk Indonesia yang dinilai berhasil menjadi raja di negeri sendiri bahkan mampu melawan produk asing. Contohnya yaitu kosmetik hasil produksi PT Paragon Technology and Innovation (PTI) yang dikenal dengan brand Wardah.
“Anda lihat yang namanya Wardah. Ini luar biasa. Kenapa Wardah bisa menang? Ternyata cost structure di kosmetik itu sangat fluktuatif. Jadi datang Wardah mereka pelajari, harganya bisa dijual separuh harga, tetapi kualitas mungkin lebih baik daripada impor,” ujar Lutfi dalam Rapat Kerja Nasional HIPMI 2021, Jumat (5/3).
Menurut Lutfi, Wardah berhasil membuktikan bahwa produk kosmetik lokal memiliki kualitas yang tidak kalah dengan brand asing. Bahkan kosmetik Wardah bisa dijual dengan harga yang sangat kompetitif. Alhasil Lutfi mengeklaim, Wardah bisa merebut pangsa pasar kosmetik di Indonesia dan menyingkirkan lawannya yang merupakan produk asing.
“Ini musuhnya buatan Prancis, saya enggak mau sebut namanya, sudah gulung tikar di Indonesia. Kalau Wardah bisa, Indonesia bisa. Kalau Indonesia bisa, Anda semua sebagai pelaku ekonomi baru juga mesti bisa,” ujar Lutfi.
Nurhayati Subakat, Pendiri PT Paragon Technology and Innovation Foto: Dok. PT Paragon Technology and Innovation
Dalam wawancara khusus dengan kumparan beberapa waktu lalu, CEO dan Founder PT Paragon Technology and Innovation Nurhayati Subakat mengatakan setiap tahunnya Wardah mampu menciptakan sebanyak 200 produk baru. Kala itu perusahaannya sudah memiliki sekitar 1.000 produk kosmetik.
“Kami sudah memiliki 1.000 produk dan target 200 produk baru setiap tahun. Karena perubahannya begitu cepat, masyarakat menginginkan yang glossy dulu, baru matte. Perubahannya cepat,” ujarnya dalam acara The CEO Kumparan di Kantor Teknologi dan Inovasi Paragon, Jakarta Selatan, Kamis (22/8).
Selain itu, lanjutnya, Wardah juga masuk ke hampir semua segmen. Hal ini disebut ampuh untuk mengatasi tren yang sering berubah. Sebab, perubahan dalam industri kosmetik sendiri bisa terjadi hanya dalam kurun waktu 2 tahun saja. Kalau tidak cepat dan tanggap, maka pelaku usaha akan tertinggal jauh. "Kami masuk tidak hanya milenial, tapi memang trennya sekarang itu remaja. Khusus untuk Wardah ini bukan milenial saja. Karena memang cepat (perubahannya), pasti orang inginnya yang baru terus. Biasanya kosmetik enggak lebih dari 2 tahun sudah ganti lagi," tambahnya.
Ada 4 jenis brand di bawah Paragon Technology and Innovation, yakni Make Over, Wardah, IX, dan Emina. Tiga dari empat brand di bawah perusahaannya pun berhasil masuk dalam kategori rising star product berdasarkan riset Nielsen. "Kita memang cepat sekali merespons pasar. Kalau dilihat di industri kosmetik sekarang, sudah ada 3 brand yang cukup kuat, yakni Wardah, Make Over, dan Emina. Jadi intinya inovasi, kecepatan, dan kerja keras," katanya.
Nurhayati mengaku ia sangat menjaga kualitas produknya. Baginya, kualitas produk adalah yang terpenting. Ini juga yang membuat produk-produknya banyak laris di pasaran. Selain kualitas yang terjaga, Nurhayati juga menjual produknya dengan harga terjangkau. "Banyak yang tanya apa sih kelebihan kami? Ya, itu, formulanya bagus dan harganya bersaing," sebutnya.
Nurhayati bercerita, salah satu produk milik perusahaannya seperti brand kosmetik premium, Make Over kerap dinilai mirip produk luar negeri yang harganya di atas Rp 100.000 per item. Padahal, rata-rata produk Make Over dijual di bawah Rp 100.000. Begitu juga dengan brand Emina, banyak yang menilai mirip seperti produk Korea Selatan, malah dianggap memiliki kualitas lebih bagus. "Jadi kita kuat di kualitas dan harganya terjangkau," tambahnya.

Bagikan