arrow_upward

Penolakan Presiden 3 Periode, Menghormati Prinsip Demokrasi

Mahasiswa Demo-Blokade Jalan Tolak 3 Periode Jokowi di Makassar. Foto: Dok. Istimewa

Pertanyaan mengenai kemungkinan seorang presiden menjabat selama tiga periode telah menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam beberapa waktu terakhir. Beberapa orang berpendapat bahwa memperpanjang masa jabatan presiden melampaui dua periode akan membahayakan prinsip dasar demokrasi dan mengancam keseimbangan kekuasaan. 


Berdasarkan hasil survei Indonesia Polling Station (IPS) yang telah dilakukan di 34 provinsi dari 1.220 koresponden, mengungkapkan 74,6 persen masyarakat menolak perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Meskipun ada argumen yang berbeda, penolakan terhadap presiden tiga periode adalah langkah yang bijaksana dan menghormati prinsip-prinsip demokrasi.


Salah satu pilar penting dalam demokrasi adalah pembatasan masa jabatan bagi pemimpin negara. Batasan ini dirancang untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan mendorong pergantian kepemimpinan yang sehat dalam sebuah negara. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 7 UUD 1945 menyatakan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya selama dua periode.


Dengan ini membatasi masa jabatan presiden hingga dua periode adalah langkah yang bijaksana untuk mencegah terjadinya dominasi yang berlebihan dan menjaga keseimbangan kekuasaan antara pemerintah dan rakyat.


Berdasarkan fakta empiris, memperpanjang masa jabatan presiden akan menimbulkan kekacauan, krisis, dan kekerasan. Seperti yang ditemukan oleh Kofi Annan Fundation dalam studinya berjudul Changing Term Limits: An Electoral Perspective (2016). Ada beberapa negara pernah mengalami nasib seperti itu, antara lain Kongo (2014), Burkina Faso (2014), dan Burundi (2015).


Selain itu, memperpanjang masa jabatan presiden dapat mengganggu prinsip alternatif pemimpin. Demokrasi bergantung pada kemampuan rakyat untuk memilih dan menggantikan pemimpin mereka secara teratur. 


Dengan membatasi masa jabatan presiden, kita memberikan kesempatan yang adil bagi calon lain untuk datang ke permukaan dan memberikan visi baru serta solusi untuk masalah yang dihadapi negara. Ini mencegah terjadinya stagnasi dan memperkaya demokrasi dengan ide-ide dan perspektif yang berbeda.


Selain itu, penolakan terhadap presiden tiga periode juga berhubungan dengan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Semakin lama seseorang berada di posisi kekuasaan, semakin besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya akuntabilitas. 


Pembatasan masa jabatan memberikan batasan yang sehat. Pembatasan masa jabatan juga dapat memastikan bahwa pemimpin tidak menjadi otoriter atau mengumpulkan terlalu banyak kekuasaan dalam satu tangan.


Namun, ada argumen yang mengeklaim bahwa jika seorang presiden memperoleh popularitas dan dukungan yang besar dari rakyatnya, dia harus diberi kesempatan untuk melanjutkan tugasnya. 


Ini adalah pandangan yang sah, tetapi kita juga harus mempertimbangkan bahwa demokrasi bukan hanya tentang satu individu atau kelompok tertentu. Demokrasi adalah tentang kekuasaan yang diberikan kepada rakyat secara keseluruhan, dan kepentingan rakyat harus diutamakan dalam pengambilan keputusan politik.


Dalam menghormati prinsip demokrasi, kita perlu mempertahankan pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode. Pembatasan ini merupakan langkah penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, memungkinkan pergantian kepemimpinan yang sehat, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. 


Dengan menjaga prinsip-prinsip ini, kita dapat membangun sistem demokrasi yang kuat dan memberikan peluang yang adil bagi semua orang untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negara.


Sumber Kumparan

Bagikan
Copyright © Info360News Update - All Rights Reserved
.